Selama 22 tahun hidup, mungkin 3 tahun belakangan adalah tahun yang begitu berat bagi saya. I cant believe i say this! But is true! Seburuk apapun, sesial apapun, setidak menyenangkan apapun yang saya lalui sebelum 3 tahun terakhir, ternyata tidak ada apa-apanya dibanding saat ini. Mungkin ini cuma permulaan. Mungkin ke depannya akan lebih banyak lagi masalah dan hambatan yang lebih berat dari hari ini. Tapi untuk pertama kalinya, di penghujung umur 22, saya merasa ada di titik terendah hidup.
Pertama, ayah saya sakit. Sakit yang bisa dibilang sakit cukup berat. Saya tidak pernah terbayang sedikitpun bahwa ayah saya akan sakit. Walaupun saya tidak pernah terlalu akrab dengan beliau, tapi beliau sakit adalah pukulan yang cukup mengguncang hidup saya. Saat saya harus menerima kenyataan bahwa seumur hidupnya ayah saya akan terus minum obat. Seumur hidup ayah saya akan sulit bergerak layaknya orang sehat. Seumur hidup ayah saya akan terus menjalani hari-harinya sebagai orang sakit. Di ujung dunia manapun, tidak akan ada anak yang mau melihat orang tua nya sakit seperti ini.
Kedua, saya kehilangan sahabat. Ya. Saya kehilangan kepercayaan pada salah satu sahabat saya. Sejak SMP, sahabat selalu jadi prioritas saya. Karena bagi saya, tanpa mereka saya bukanlah apa-apa. Sampai SMA pun, sahabat tetap orang yang sangat saya percaya. Di mata saya, sahabat adalah orang yang bisa saya percaya. Orang yang bisa mendengarkan semua cerita dan keluh kesah. Orang yang selalu membantu saat saya susah. Tapi beberapa tahun yang lalu, seorang sahabat merusak sesuatu yang menurut saya sangat sakral dalam persahabatan. Dia merusak kepercayaan yang saya berikan 1000%. Dulu pacar saya berkhianat, bohong, selingkuh, saya bisa mencari penggantinya. Tapi sahabat? Tidak. Ini adalah pertama kalinya saya merasa dikhianati. Ini adalah pertama kalinya saya merasakan sakit hati yang melebihi apapun. Walaupun saya sudah memaafkan dan mencoba melupakan semua yang sudah terjadi, tapi sampai kapanpun luka itu akan tetap ada. Tidak akan pernah sembuh. Luka itu bagai alarm peringatan untuk saya agar tidak lagi terlalu percaya pada seseorang yang sudah saya anggap dekat. Karena tidak semua orang mempunyai pikiran yang sama seperti saya.
Ketiga, saat melihat teman2 saya sudah mulai lulus S1. Sedangkan saya masih skripsi. Stak dengan dosen pembimbing yang tidak bisa dihubungi. Stak dengan berbagai family stuff karena saya 'pengangguran', dan waktu saya pun habis untuk itu. Rasanya stres bukan main setiap akhir minggu melihat teman seperjuangan di kampus lulus satu per satu. Terkadang saya menyesali apa yang saya pilih. Namun saya harus belajar menerima apa yang memang sudah saya pilih. Ini adalah cobaan terberat selama 4 tahun saya kuliah. Lulus yang terhambat.
Keempat, menyesali kesempatan kedua yang saya berikan pada seorang yang saya sayang. Mungkin bila saya telaah, ia bukan orang yang cukup baik untuk saya. Dan mungkin saya juga tidak cukup baik untuk nya. Saya terlalu lemah akan kembalinya dia. Saya terlalu lemah karena sampai detik ini pun saya masih tidak bisa menghilangkan rasa sayang itu. Saat ia kembali datang untuk menyampaikan rasa penyesalannya, saya tidak merasa senang ataupun menang sedikitpun. Yang saya rasakan adalah rasa sakit di hati. Karena saya tidak bisa bersamanya. Terlalu banyak hambatannya. Sudah terlalu banyak masalah antara saya dan dia. Masalah yang tidak ada penyelesaiannya. Jalan keluarnya hanyalah menyerah. Mungkin dia adalah orang pertama yang bisa membuat saya sehancur, serapuh, dan sekuat ini.
Kelima, kehilangan yang paling berat adalah kehilangan tante yang sangat saya sayang. Tante yang begitu baik. Tante yang tidak ada duanya. Tante yang segala kebaikannya belum sempat saya balas. Kehilangan beliau yang begitu cepat dan tidak saya sangka ini begitu membuat saya terpukul. Pukulan yang sangat telak. Dan yang saya bisa lakukan saat ini hanya mengirim doa. Karena sekarang beliau sudah bahagia. Beliau sudah berada di tangan yang tepat.
Ayah sakit, kehilangan sahabat, S1 yang tertunda, tidak bisa bersama dengan orang yang disayang, dan ditinggal tante mungkin belum seberapa dibanding hari ke depan. Tapi itu semua cukup membuat saya berada di titik terendah dalam hidup. Rasanya seperti hidup segan mati tak mau. Semua berjalan begitu lamban. Tidak ada semangat sama sekali.
Tapi saya tidak bisa seperti ini terus. Saya tidak bisa menyerah begitu saja. Karena hanya diri saya sendiri yang bisa membangkitkan semangat. Hanya saya sendiri yang bisa membangunkan saya dari keterpurukan. Saya pernah melewati hal buruk di masa lalu, jadi saya juga pasti bisa melewati ini semua, agar ke depannya saya juga bisa terus melewati masalah yang akan datang.
Hidup itu seperti roda berputar. Terkadang di atas dan terkadamg dibawah. Tuhan tidak memberikan cobaan diluar batas kemampuan umatnya. Badai pasti berlalu, sheila..


0 comments:
Posting Komentar